OPINI - Dalam praktik politik dan pemerintahan, janji adalah alat penting yang digunakan oleh para pemimpin untuk mendapatkan kepercayaan publik. Janji-janji ini sering kali dituangkan dalam visi dan misi yang menjanjikan perubahan serta perbaikan untuk masyarakat. Namun, sering kali janji tersebut diingkari atau tidak terpenuhi. Lantas, apakah janji yang diingkari ini bisa dianggap sebagai bentuk korupsi?
Jika kita mendefinisikan korupsi secara sederhana, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Pada dasarnya, ini mencakup tindakan manipulatif yang melanggar integritas serta amanah publik. Berdasarkan definisi tersebut, bisa kita simpulkan bahwa korupsi tidak hanya terbatas pada penggelapan dana atau suap, tetapi juga mencakup tindakan yang melanggar prinsip kejujuran dan tanggung jawab.
Menilik janji politik yang diingkari, salah satu sudut pandang menarik adalah apakah janji yang diucapkan pada masa kampanye dapat dianggap sebagai kontrak sosial antara pemimpin dan masyarakat. Dalam pandangan hukum, sebuah kontrak memiliki elemen yang mengikat kedua belah pihak. Jika salah satu pihak gagal memenuhi tanggung jawabnya, pihak lain berhak untuk menuntut. Dalam konteks politik, masyarakat berperan sebagai pihak yang "dijanjikan", sementara politikus atau pemimpin yang terpilih berperan sebagai pihak yang "berjanji". Jika pemimpin tersebut gagal memenuhi janji-janjinya, maka secara etis, ia telah mengkhianati kepercayaan publik.
Namun, dari sisi hukum, pelanggaran janji politik yang tidak berdampak langsung pada kerugian finansial negara atau masyarakat biasanya tidak termasuk dalam kategori korupsi. Hukum di Indonesia, misalnya, mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, janji yang diingkari, tanpa adanya bukti bahwa hal itu mengarah pada kerugian finansial, tidak secara otomatis bisa dianggap sebagai korupsi.
Meski demikian, ada argumen bahwa pengingkaran janji politik dapat berkontribusi pada budaya korupsi yang lebih luas. Ketika seorang pemimpin dengan sengaja mengabaikan janji yang telah ia buat untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, ia membuka celah untuk praktik korupsi lainnya, seperti penyalahgunaan wewenang dan nepotisme.
Pada akhirnya, pengingkaran janji politik yang sistematis berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Hal ini dapat merusak legitimasi politik serta memperkuat budaya korupsi dalam sistem pemerintahan. Meskipun mungkin sulit untuk mengaitkan pengingkaran janji politik langsung dengan korupsi secara hukum, dampak jangka panjangnya terhadap integritas demokrasi dan moralitas politik tidak boleh diabaikan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Komunikasi Yes, Koalisi No
|
Masyarakat memiliki hak untuk memegang para pemimpinnya bertanggung jawab atas janji yang mereka buat. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama dalam pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Jika tidak, pengingkaran janji, meskipun tidak selalu dianggap sebagai korupsi, dapat menimbulkan efek domino yang memperburuk budaya politik yang sudah rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Mesuji 02 Oktober 2024
Baca juga:
Alex Wibisono: Demokrasi Kentut
|
Komarudin
Penggiat Sosial
Baca juga:
Surya Paloh: Anies, Kau Jangan Menyerah
|